Tulisan Terciamik Teman-Teman, Kalau Kataku

Hari-Hari Pembebasan (dan Catatan-Catatan Lainnya), vol. 2

Def H
9 min readMar 31, 2023

Kalau kata Elvira Chandra, Medium adalah medium self-disclosure (personal communication, 20 Maret 2023). Lebih lanjut lagi, penggunaannya sebagai platform buat tantangan 31 hari menulis di mata kuliah Penulisan Kreatif ini dianggapnya “menciptakan sebuah dunia baru yang membuat kita jadi lebih mengenal satu sama lain: karakter, sifat, pemikiran … [dan lain-lain]” (Nanda dalam “Ide untuk Mengukur Self-Disclosure Kalian Semua Melalui Medium!”, 2023).

Muhammad Ghazi Algifari dalam “Orang-Orang Keren Amat, Gila” (2023), sementara itu, berpendapat serupa. Menurutnya, tantangan menulis ini boleh dibilang merupakan strategi untuk mengenal sisi lain dari setiap individu dalam satu angkatan Dikom 2022—pintu yang membuka satu sama lain kepada alter ego unik milik masing-masing.

Opiniku tak banyak berbeda dengan mereka berdua. Tiga puluh satu hari penuh bolak-balik membuka Medium jelek ini sedikit banyak membuat sadar bahwa ada begitu banyak rupa orang-orang yang belum — atau mungkin tidak akan pernah — kuketahui kalau saja tidak pernah mereka tuliskan terlebih dahulu. Entah sekadar keseharian, pengalaman, pencapaian, hingga perasaan dan emosi, pernyataan dan sikap (juga hal-hal yang aku rasa sebaiknya tidak usah aku baca). Dalam takaran yang berbeda-beda, pada akhirnya, semuanya toh bisa dibilang telah menuliskan diri mereka masing-masing; tentunya dengan karakter, gaya, bahasa, rasa, kepribadian — apapun — yang berwarna-warni, beraneka ragam, berbagai rupa, beragam corak.

Saatnya buat mengapresiasi!

Berikut adalah tulisan teman-teman yang sedikit banyak jadi favoritku sebulan ini. Tidak diurutkan berdasarkan ranking, soalnya semuanya bagus-bagus belaka.

P*******n | Lani

Tulisan punya Leilani Setyawan ini kunobatkan sebagai tulisan paling groundbreaking di seantero jagad Medium ’22. Kau bakal tahu persis maksudnya kalau membaca sendiri, sila:

Kutaruh paling atas karena sama-sama kami perempuan — maka selamanya pula kami melawan.

Seri “Ngajar Tuh Belajar” | Naya

Kalau pernah membaca kitab gubahan Griffin et al. (atau West & Turner, jika lebih menyenangi yang itu), dirimu pasti paham betul susahnya mengajari diri sendiri. Kalau pernah mencoba menjelaskan apa yang kaubaca ke orang lain, lebih-lebih lagi: dirimu pasti akan paham betul lebih susahnya mengajar orang lain daripada diri sendiri.

Tetapi, orang-orang seperti Naya barangkali punya bakat lebih daripada kita-kita yang remedial dalam hal belajar dan mengajar ini — dan hal itu pula yang dirinya ceritakan di seri “Ngajar Tuh Belajar” ini. Uniknya lagi, murid-murid Naya adala anak kecil—yang dalam pandanganku jelas lebih sulit diajari daripada anak besar (walaupun dirimu itu juga tak kalah menyusahkan buat dosen, jangan kecepatan sombong).

Mendengarkan suara-suara bocah kompleks saja kepengin kulempar sandal sebelah pasang. Tetapi buat Naya, bedhes-bedhes semacam itulah yang mesti dihadapi saban hari.

Membaca “Ngajar Tuh Belajar”, aku rasa juga mengajari kita semua suatu hal: bahwa tiap-tiap anak — walaupun banyak yang menjengkelkan setengah mampus—selalu spesial, dan maka berhak atas segala sesuatu yang baik-baik di dunia ini.

Tetapi tetap saja, aku tak bakal mau kalau disuruh mengajari bocah. Kuserahkan sepenuhnya pada Hanestatri W Naya saja, deh.

Aku dan Tetap Aku | Cem

“Aku dan Tetap Aku” adalah satu dari beberapa tulisan teman-teman pertama yang kubaca. Sehabis baca ini, Neng Selma R. Azizah kunobatkan menjadi salah satu penulis favoritku — sebab penulis-penulis yang berbicara dengan bahasa mereka sendiri selalu layak untuk diapresiasi.

Selebihnya, aku selalu suka karya-karya di mana di dalamnya, penulis seakan menyertakan sebagian porsi diri mereka. Tepat seperti bab “Kanibal” dalam buku Metafora Padma oleh Bernard Batubara: si Penulis mesti memotongi jari-jari dan tangan dan kakinya sendiri, karena hanya dengan demikian sebuah karya bisa lahir dan ada.

Spektrum warna di diriku | Lani

Aku menyenangi karya yang satu ini dengan alasan yang sama dengan kenapa aku suka “Aku dan Tetap Aku” punya Cem.

Menggambarkan diri sendiri jelas selalu apik — sebab tak ada seorang pun yang sama persis sedari awal. Namun, cara Leilani Setyawan menggunakan warna untuk melukis — melukis diri sendiri — dalam tulisannya ini membuatnya jauh lebih rupawan lagi.

Putih, oranye, hijau, biru adalah warna-warna Lani. Lantas, warna yang bagaimana yang hadir dalam spektrum warnamu?

Seri “Kisah Mobil Merah” | Ajra

Tanpa punya pengalaman yang serupa, “Kisah Mobil Merah” oleh ajra hasani tetap bisa membikin nostalgia pada siapapun yang membaca.

Sekolah dasar, mobil jemputan, permen Yupi, persoalan pertemanan-permusuhan bocah-bocah yang kadang menggelikan kalau dipikir-pikir. Semuanya ada.

Menurutku, cerita-cerita ini betulan punya potensi bagus buat jadi semacam buku cerita anak-anak. Soalnya, (1) tentang anak-anak; dan (2) punya gaya penulisan yang sederhana dan kekanakan tetapi justru itu maka unik; sehingga (3) bisa disukai anak-anak dan punya nilai jual.

Protesku satu-satunya: “Kisah Mobil Merah” cuma bertahan empat biji isinya. Padahal kalau masih banyak ceritanya tetapi malas menulis, saya saja yang melanjutkan tidak apa-apa, lho, ajra hasani.

Serius — boleh hubungi saya di nomor telepon 085*********.

Cape | Saddam

Pada suatu hari, saddam fitra endri menulis “Cape”. Mengenai cape. Barangkali ketika sedang cape. Aku suka karena sama-sama cape. Seharusnya kau suka pula — soalnya aku yakin dirimu juga cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape cape capeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.

Jadi Tour Leader Harus Punya Seribu Hati | Sye

Diriku tidak berencana beribadah dalam waktu dekat. Juga tidak dalam waktu jauh. Tidak pula ada niatan untuk menjadi tour leader umrah segala macam (kemungkinannya sama dengan aku tiba-tiba menjadi admin Twitter partai politik jelek — nol besar). Tetapi, kesemuanya justru menjadi bukti bahwa kau tak selamanya perlu merasa dekat dengan tema tertentu terlebih dahulu untuk menikmati tulisan-tulisan Sherlynda Salma.

Selain itu pula, beliau ini perlu diapresiasi karena dari seantero laman Medium Dikom ‘22, barangkali laman punya beliaulah yang paling apik, rapi, terstruktur, sistematis, dan masif (lho). Kalau belum mengunjungi, dirimu payah — maka klik sekarang!

#MendataSherlynda

Seri “Tahun Paling Produktif” | Ghazi

Sebagai orang yang merasa tidak ngapa-ngapain waktu sekolah menengah, membaca tiga #Anekdotologi ini membikin iri setengah mati. Sebab jadi terasa betul bahwa tidak ngapa-ngapain. Padahal sendirinya memilih tidak ngapa-ngapain. Apakah sekarang menjadi pengin ngapa-ngapain?

Tidak juga, sih — malas soalnya.

Tetapi, pengalaman Muhammad Ghazi Algifari ini tetap terlalu menarik buat dilewatkan. Kalau sedang tidak ngapa-ngapain, boleh sekali dibaca:

Benar-benar Tahun Paling Produktif — cuma membaca ceritanya pun juga jadi merasa produktif (ini betulan, tidak melebih-lebihkan).

Seri “Rumah dalam Asing” | Venus Kindhearty

Dalam “Bang, Udah Bang!” dan “Rumah dalam Asing (4)”, Venus sempat bilang kalau seri ini adalah karya favoritnya. Sama dengannya, kuanggap seri ini adalah magnum opus — dan barangkali juga favoritku dari semua tulisan teman-teman yang lain.

Rumah dan asing — kontradiktif. Bertentangan. Berlawanan.

Tetapi bagi Venus Kindhearty, keduanya selamanya berkelindan.

Membuka Tirai Pertama | Thalia

Menutup tulisan favorit terakhir dengan “Membuka Tirai Pertama” oleh Thalia Dwita. Agak curang soalnya bukan sajak yang ditulis buat tantangan menulis ini, tetapi bodo amat.

Semoga semua yang “telah sekian lama menutup semua jendela dan mengunci pintu rapat-rapat sampai tidak membiarkan setitik cahaya pun bisa masuk dari celah-celah dinding yang keropos, membalut dinding dengan selusin kaca agar kedap suara, dan menggunakan gembok besi berlapis baja agar pintunya selalu terjaga" akan selalu berkesempatan untuk sekali lagi membuka tirai pertama mereka.

Honorable Mention: Histoire de Chaîne | Khansa, Elvira, Bima, Sarwindah, Wildan, Riyan, Carloz

Sebetulnya, tiap-tiap cerita bersambung di bawah ini kadang tak sepenuhnya kubaca sampai habis (maaf), tapi rasa-rasanya ada yang janggal kalau tidak diikutsertakan di sini. Soalnya betul-betul perwujudan penulisan kreatif.

Buat Khansa Ath - Thahirah

Elvira Chandra

Amirul Bimantara Nugraha

Sarwindah Dwi Yuntari

Wildan Charindra Wibawa

Riyan (Hadi)

… dan CG Lucaz

… kalian semua mabok apa, deh?

Sepertinya kelamaan kalau misalnya betul-betul semua tulisan yang aku senangi kutulis di sini (sudah menginjak sembilan menit dan dua ribu kurang sekian kata … mengapa niat seperti ini tidak pernah muncul kalau sedang mengerjakan ujian, ya). Maka, paragraf yang ini akan kudedikasikan buat penulis-penulis favorit dan beberapa yang belum sempat kusebutkan di atas:

Buat Selma R. Azizah dan Thalia Dwita yang selamanya punya kata-rasa mereka sendiri, Riyan (Hadi) yang sayangnya hanya baru-baru ini kubacai tulisan-tulisannya, CG Lucaz dan gaya bahasa asyik-nya, Anya Paulina yang mengaku tidak terbiasa menulis padahal sat-set das-des, Venus Kindhearty yang bisa menulis apapun — dari mi rebus sampai neorealisme (mbuh ini apa), Leilani Setyawan — si selalu pandai menulis, Satya Izmi yang cerita hari-harinya selalu menghibur dan menyenangkan, Elvira Chandra yang — dalam perkataannya sendiri — tulisan-tulisannya berbanding 180 derajat dengan punyaku, juga teman-teman lain yang tak cukup kalau semuanya ditulis di sini (cukup, sih, cuma jariku ini berpotensi menjadi kering keriting, sehingga tak usahlah meminta yang macam-macam).

Juga terima kasih banyak kepada Hana Hamidah, Nathania Ayu Fabiola, Thalia Dwita, dan Margareta Anugrah yang saban hari kelimpungan saling mengingatkan buat menuntaskan artikel Medium di hari itu.

Bah, ucapan terima kasih sepanjang antrean Yu Pariyem di jam makan siang — seakan sisa sidang skripsi dan wisuda saja (dan seakan yakin betul sudah akan bebas).

Sekalian: proficiat!

Terakhir, terima kasih buat Mas Irham Anshari yang membolehkan kita semua untuk sekali lagi berkenalan dengan satu sama lain!

--

--

Def H

lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipiscing elit